"Maaf, kamu nggak papa? Seseorang dengan tampang rupawan keluar dari mobil dan menghampiriku. Sekilas tampak kekhawatiran di matanya. Ia mendekatiku dan membantuku berdiri. Tak sengaja ia menarik sedikit rambutku saat ia memapahku. Hatiku berdesir. Bukan hanya sekali ini ada seorang lelaki yang menyentuh rambutku dengan tidak sengaja, karena rambutku memang sepunggung panjangnya. Tapi ada rasa lain yang menghampiriku ketika ia melakukannya.
"Aku nggak papa kok. Makasih ya." Tak kusangka kakiku yang sedikit terkilir memaksaku untuk jatuh lagi. Refleks, ia menolongku.
"Masuk ke mobilku dulu yuk, nanti aku obatin lukanya. Kayaknya luka di kakimu sedikit terbuka."
"Nggak usah, aku masih bisa jalan kok."
"Ayolah, nggak usah bohong. Aku tahu kamu lagi kesakitan." Ia memaksaku untuk masuk ke mobilnya.
Aku tak bisa berbuat apa-apa lagi. Aku menurutinya. Ia banyak bercerita tentang dirinya dan kehidupannya. Ia ternyata seorang dokter yang meneruskan studi S2 nya. Entah ia mengambil spesialis apa. Pantas, ia tahu kalau aku berbohong.
"Oh iya, dari tadi kita ngobrol aku belum ngenalin diriku. Aku Adit, salam kenal ya." Ia menyodorkan tangannya
"Aku Rika."
"Masih sakit ya? Tunggu bentar ya, apartemen ku masih lumayan jauh. Ngomong-ngomong kamu lagi sibuk apa?
"Aku S2 juga, Sastra Inggris."
"Mm, yaya."
"Silahkan masuk, maaf apartemen ku ya cuma begini lah."
Aku terperangah, apartemen cowok tapi sangat rapi! Ku lihat sekeliling, memang banyak hal-hal yang berbau kedokteran.
"Sini, nggak usah malu-malu lah."
Aku menuruti segala ucapannya. Ia mengobati lukaku dan terlihat sangat profesional. Kulihat matanya yang sangat indah serta rambutnya yang sangat rapi. Jantungku sedikit berdegup dan aku tak tahu apakah pipiku sudah semerah kepiting rebus. Jika iya, pasti aku sangat malu.
"Makasih ya Adit, udah bantuin aku."
"Sama-sama, Rika. Udah tugas dokter buat bantu orang sakit. Aku anterin pulang aja ya. Kayaknya masih sakit kalau buat jalan."
"Kok jadi ngerepotin gini."
"Nggak papa, yuk"
Entah kenapa sejak saat itu, aku merasa ingin sekali bertemu dengan Adit. Tatapan matanya saat melihatku dan tingkah lakunya membuatku jatuh hati. Tapi, apakah ia akan membalas rasa ku ini? Aku bukanlah seseorang dari lingkungan elit dan aku mungkin belum menjadi seperti gadis modern pada umumnya. Aku adalah gadis kuno yang merantau ke kota besar untuk mencari ilmu. Beruntung di sini aku dapat bekerja sebagai translator novel, juga editor. Aku juga telah menerbitkan tiga buah novel, dan itulah yang menjadi penghasilanku.
Aku tak sanggup untuk tampil mewah karena penghasilanku yang aku dapat kugunakan untuk membiayai kuliah ku sendiri dan sisanya untuk menyambung hidupku, serta ditabung tentunya. Rambutku yang dulu selalu diberi ramuan tradisional oleh ibuku, sekarang kubiarkan ala kadarnya saja. Cukup keramas dua hari sekali dan teman-teman ku masih memuji keindahan rambutku.
Hari-hari kujalani seperti biasa. Aku tak tahu dimana sosok Adit sekarang, yang pasti ia hanya berada di sampingku sekejap saja. Sepanjang kelas yang aku lalui selalu terbayang akan Adit. Apakah ini tandanya aku jatuh cinta?
Seminggu sudah terlewati sejak Adit menabrakku saat itu. Aku berjalan di koridor kampus dengan sedikit melamun, membayangkan kapan aku bisa bertemu Adit kembali. Namun tiba-tiba mataku menangkap bayangan dari sosok Adit. Kupikir itu tak mungkin, apakah ia satu perguruan tinggi denganku?
"Eh, hai Rika!" teriak Adit yang menyadarkanku dari lamunan. Ia berlari ke arahku.
"Adit?" Aku terkejut. "Kok ada di sini?"
"Gimana luka seminggu yang lalu, masih sakit?" tanya Adit
"Kamu tuh ya, ditanyain malah ganti nanya," candaku. "Udah sembuh kok, Dit. Makasih ya." Aku tersenyum
"Kebetulan kita satu universitas," ujar Adit.
"Kok kamu tahu?" tanyaku penasaran.
"Aku nanya temanku, kayak kamu juga, S2 sastra inggris dan dia tahu kamu."
"Oh, gitu ya. Aku duluan ya, masih banyak tugas yang harus aku selesaikan, bye!" ujarku.
"Ya, silahkan. Semoga kita bisa ketemu lagi, bye."
Aku tak menyangka aku bisa bertemu Adit kembali. Sejak hari itu aku selalu percaya bahwa aku bisa bertemu kembali dengan Adit.
"Rik, maksudmu apa? Mau jatuhin aku? Aku memang tak memiliki hubungan yang baik dengan Adit, tapi tak seharusnya juga kan kau begitu sama aku." Reyna membentakku. Jujur, aku tak tahu apa yang terjadi.
"Maksudmu apa, Rey?" jawabku.
"Kamu bertanya maksudmu apa? Sebenarnya apa sih maumu? Kita kan temen SMA, masak kamu tega sama aku, Rik!"
"Maksudmu apa?" Aku semakin tak mengerti.
"Artikel malpraktek dengan inisial RMI mu, itu kan inisial ku!" Nada suara Reyna semakin meninggi.
"Maaf, Reyn. Tapi orang-orang juga tak akan tahu 'kan jika itu namamu. Lagian kenapa sih kamu harus ngelakuin malpraktek segala," ujarku lembut.
"Rik, asal kau tahu ya. Di setiap artikel kedokteran yang aku buat, di setiap hasil eksperimen ku, bahkan di setiap praktek kerjaku aku selalu pakai inisial RMI! Sekarang kamu puas, aku udah jatuh gegara artikelmu--"
Plakk
Kuberanikan diri menampar Reyna. Ia terkejut dan semakin marah kepadaku. Aku berusaha tenang menghadapi situasi ini.
"Oh, berani menampar kamu sekarang. Kukira kamu orang yang lembut dan baik hati, ternyata--"
Plakk
Kutampar sekali lagi pipi Reyna.
"Baru kali ini lho ada cewek yang berani nampar aku--"
Plakk
Sekali lagi aku menampar Reyna. Rasanya kesabaranku sudah hampir habis.
"Aku juga berani ngabisin kamu. Nggak peduli kita pernah temenan. Keluarlah!" Reyna memanggil preman sekongkolannya yang bersembunyi di gudang tua itu.
"Habisin Rika!"
Aku terkejut. Preman-preman langsung menghabisiku. Darah langsung mengalir deras di sekujur tubuh. Aku tak mampu bergerak! Bahkan untuk berbicara lagi dengan Reyna pun aku sudah tak mampu. Aku hanya bisa pasrah kepada Tuhan.
"Puas?" Reyna mengejekku. Aku hanya melihat matanya dengan sorot kemarahan.
"Tapi sayangnya aku belum puas menghabisimu," bisik Reyna di telingaku.
Reyna merogoh saku celananya dan ia mengambil GUNTING! Ia mengarahkannya pada rambutku. Aku yang tak mampu berkutik hanya bisa pasrah diperlakukan seperti itu.
Kreeesss Kresss Kress
Ribuan helai rambutku jatuh memenuhi lantai gudang di mana aku dan Reyna berada. Aku hanya mampu menangis mengingat rambutku yang sudah pasti akan acak-acakan.
Kresss Kress Kresss
Reyna semakin asik mengguntingi rambutku. Tiba-tiba ia menghentikan aksinya dan lari terburu-buru. Entah apa yang terjadi.
Kulihat Adit berlari ke arahku. Wajahnya menampakkan raut kekhawatiran terhadap diriku. Ingin ku berkata bahwa aku tak apa, namun aku tak bisa bicara, apalagi berdiri dan menghampirinya.
"Rika! Kamu ...."
"Adit! Maukah kau bantu aku berdiri?" Ia langsung memapahku dan heran melihat beberapa luka di wajahku dan RAMBUTKU!
"Kamu kenapa, Rik?"
"A-aku nggakpapa kok, hanya ada sedikit konflik sama Reyna."
"Rambutmu? Kenapa jadi--" Ia terbelalak melihat ribuan helai rambutku tergeletak tak berdaya di lantai gudang itu. "Ikut aku bentar ya."
"Nggakpapa kok, nggak usah repot-repot. Aku baik-baik saja."
"Ikut aku." Hatiku berdegup sangat kencang ketika ia berkata dengan nada yang lembut dan menyentuh. Tubuhku yang lemah hanya mampu menuruti apa yang ia mau.
"Nih, pakai jaketku." Ia menyodorkan jaketnya yang tertenteng di tangan sebelumnya.
"Buat apa?"
"Apa kamu nggak malu sama rambutmu? Nih, pakai aja."
Kuambil jaketnya dan aroma parfum yang keluar dari jaketnya membuatku sedikit tenang. 'Mengapa ia sebaik ini, padaku?'
"Masuklah, akan kuobati lukamu di mobil. Beruntung aku bawa beberapa obat luka luar." Tangannya yang indah menari-nari di wajahku. Beberapa luka telah ia obati. Namun, ketika wajahnya berada terlalu dekat denganku, aku merasakan hembusan napasnya yang menggetarkan jiwaku.
"Aw!"
"Nggakpapa, nanti sakitnya juga hilang kok. Sabar bentar ya."
Rasa sakit dari penderitaan ku tadi telah hilang seiring kehadirannya di waktu yang tepat. Aku semakin jatuh hati kepadanya.
"Gimana, udah lebih baik kan?"
"Ya, makasih banyak Adit. Kamu telah banyak membantuku."
"Ya, sama-sama. Oh iya, ikut aku bentar ya, ada hal yang harus aku lakukan."
"Sama aku?"
"Iya dong."
"Hal apa?"
"Ikut aja."
Pemandangan sekeliling kota mendadak terasa indah sejak aku berada berdampingan dengan Adit. Cara bicara dan kebiasaannya melucu memang mengagumkan. Aku sangat ingin bisa terus bersama Adit, tapi ... apakah aku bisa mewujudkan keinginanku? Aku bukanlah seseorang yang selevel dengannya. Ataukah Adit hanyalah mimpiku di siang bolong? Entahlah, biar waktu yang membalasnya.
Mobil Adit yang kutumpangi berhenti di depan Emerald Salon and Spa, tempat kecantikan yang sangat terkenal di kota ini. Aku heran mengapa Adit membawa ku kesini?
Adit keluar dari mobil dan membukakan pintunya untukku. Aku yang masih terbengong menjadi sangat terkejut. Adit hanya tertawa renyah.
"Silahkan Rika, jangan lupa topi jaketnya dipakai, malu lah dilihat orang banyak."
"Mau ngapain kita ke sini, Dit?" Aku memakai topi jaketnya sambil mengikuti langkah kecilnya menuju salon itu.
"Ikut aku aja."
Aku belum pernah memasuki tempat semewah ini. Keherananku semakin meningkat ketika seorang resepsionis mempersilahkan Adit dengan sangat hormat.
"Mari, Mas Adit. Belum jamnya kerja kok sudah kesini?" tanya resepsionis keheranan.
"Ada pelanggan VVIP, mari mbak," canda Adit dengan senyum manis yang memamerkan giginya.
"Pelanggan VVIP atau pacarnya mas?"
Adit hanya terkekeh.
"Dit, kamu kerja di sini?" tanyaku aneh
"Iya nggak ya? Haha, kepo banget sih kamu."
"Kamu ih!"
Aku terus mengikuti langkah Adit. Di lantai dua, di depan ruangan yang membuatku keheranan, karena di pintu masuk tertulis "TOP STYLIST". Adit mengambil kunci di sakunya dan membuka pintu tersebut.
"Silahkan masuk, Rika. Rileks aja lah." Adit tersenyum
"Maksudnya apa ini, Dit?"
Ia menghampiri sebuah kursi dengan kaca besar di depannya. Ia lalu mengambil sebuah kain cape silver di loker meja di depan kursi tersebut.
"Silahkan duduk di sini, Rik. Jangan bengong mulu." Adit memutar kursi dan menghadapkannya kepada ku.
"Hah?" aku tak maksud apa yang dikatakan Adit barusan. Ia menghampiri ku dan menyuruhku duduk.
"Apa maksudnya, Dit?" Aku terpaksa duduk di kursi tersebut. Aku masih merasa canggung karena aku belum pernah duduk di kursi salon. Adit lalu memutar kursi menghadap cermin.
"Apa kamu mau rambutmu seperti itu terus? Ini gratis loh." Adit memegang punggung kursi yang telah aku duduki seraya memperhatikan mataku di cermin.
"Kamu mau merapikan rambutku?"
"Pastilah!"
"Kamu bisa?"
"Kalau aku tidak bisa, kenapa aku harus ajak kamu ke tempat ini."
"Tapi aku tak biasa berambut pendek." Aku membelai rambutku yang sudah tak karuan panjangnya.
"Bisa diatur lah."
"Maksudmu bisa diatur?"
"Serahkan saja sama ahlinya," canda Adit.
"Oh iya, tadi aku lihat tulisan top stylist di pintu masuk. Maksudnya apa?"
"Aku memang top stylist di sini. Ini ruangan pribadiku. Aku kerja paruh waktu di sini dan di klinik."
"Hah?" Aku tercengang.
"Kaget ya, haha," tawa Adit membuatku kesal.
Aku semakin kagum dengan sosok Adit. Aku mulai melepas jaketnya di tubuhku dan berusaha rileks. Aku tak pernah memotong rambutku 5 tahun belakangan ini. Dengan insiden tadi, mau tak mau aku harus merelakannya. Entahlah jika tadi Adit tidak menjadi superhero ku, aku harus bagaimana. Pastinya aku tak punya cukup uang untuk merapikan rambutku.
"Aku mulai ya," bisik Adit di telingaku. Ia mengibaskan kain cape silver ditubuhku, aku semakin tegang.
"Rileks aja, Rik."
"Jangan terlalu pendek ya Dit," pintaku
"Bentar, aku lihat dulu." Adit meneliti tiap bagian rambutku dan tiba-tiba ia sangat tercengang mendapati banyak bagian rambutku telah terpotong cukup pendek. Ku tahu ketika ia mengangkat rambutku. Aku terkejut. Ia menggeleng-gelengkan kepala dan berusaha menenangkanku.
"Harus full makeover nih," ucap Adit yang membuat ku bingung.
"Maksudnya?"
"Nggak bisa kalo cuma ngrapiin atau dibuat layer. Rambutmu yang terpotong pendek cukup banyak soalnya," tukasnya sambil meneliti rambutku lagi. "Memang Reyna kurang ajar ya." Aku mengangguk
"Jadi, harus dipotong pendek ya?" Refleks air mataku keluar.
"Mau gimana lagi, Rik. Bob sedagu mungkin pilihan yang terbaik dengan kondisi rambut mu saat ini." Ia masih berpikir, tapi raut wajahnya berubah ketika ia melihat wajahku di cermin. "Rik, jangan nangis dong. Cantiknya hilang loh nanti." Tangannya mengusap air mataku dengan lembut. "Daripada rambutmu berantakan mending dipotong pendek kan?" Nada bicaranya yang selalu membuat hatiku luluh, kini terasa hanya sekedar angin lewat. Aku menangis semakin menjadi-jadi.
"Tunggu bentar ya," ucap Adit kemudian.
Kudengar langkah kakinya, namun beberapa detik kemudian, ia kembali lagi.
"Minum dulu, Rik. Tenangin diri kamu." Ia menyodorkan minuman yang ia bawa kepadaku. Kuminum sedikit demi sedikit untuk menenangkan diriku.
"Makasih ya," ucapku masih sesenggukan.
"Nggakpapa kan kalau aku potong rambutmu?" Ia berjongkok di samping kursiku dan memegang tanganku.
"Bentar ya, Dit. Biarkan aku tenang dulu."
"Iya, tenangin diri kamu dulu." Senyum Adit membuatku merasa lebih tenang.
"Dit, kalau aku berambut pendek, memangnya ada cowok yang bakalan suka sama aku?" tanyaku.
"Kalau dia memang suka sama kamu, nggak peduli mau kamu rambutnya panjang sampai nyentuh lantai, atau rambutmu pendek banget, dia tetap suka kamu. Rambut bisa panjang kembali kok, Rik. Nggak usah khawatir. Ngitung-itung sebagai pengalaman kan?"
"Okelah, Dit. Tapi kalau aku nangis nggak papa kan?" ucapku berusaha tersenyum.
"Banyak kok wanita yang nangis waktu rambutnya dipotong. Aku dah biasa nanganin."
"Aku siap, Dit."
"Yakin?"
"Yakin!" Ia menyalamiku sebagai tanda deal.
Ia berdiri seraya melipat lengan bajunya, lalu membuka loker meja di depanku, mengambil sebuah gunting dan sisir. Ia berjalan di belakangku dan mulai menyisiri rambutku dan mempartisinya menjadi beberapa bagian. Tak sengaja, gunting yang dibawanya menyentuh leherku.
"Aw ..." Aku terperanjat. Dingin dari gunting besi itu terasa sangat jelas di leherku. Perasaanku semakin tak karuan.
"Maaf, aku nggak sengaja." Ia menjauhkan gunting besi itu dari leherku.
"Iya, nggak papa kok."
"Kamu jadi makin tegang ya. Rileks aja Rik, potong rambut itu nggak sakit kayak ngobatin luka. Aku nggak pake betadine kok buat motong rambutmu, haha." Ia mengambil spray dan menyemprotkan ke seluruh bagian rambutku.
Ketika Adit mulai memainkan guntingnya, dan tangan kirinya memegang rambutku, aku tak tega melihat ke arah cermin. Pelan tapi pasti, ia langsung mengarahkan guntingnya sedikit di bawah daguku. Dentingan gunting yang mulai memotong rambutku membuat aku nervous.
Krek krek krek
Aku terkulai lemas mendapati rambutku telah terpotong. Aku melihatnya sendiri! Setidak teganya aku, aku terlalu penasaran bagaimana aksinya ketika Adit menjadi capster, bukan sebagai dokter. Tapi justru karena inilah nyaliku menjadi ciut. Kupejamkan mataku, aku tak mau melihatnya lagi. Kudengar Adit masih asik memainkan guntingnya. 'Sepertinya ia tak memperhatikanku, atau memang seperti itulah cara dia memperlakukan wanita yang sedang shock karena rambut panjangnya dipotong?' pikirku.
Sebenarnya aku sangat nervous ketika memegang rambutnya Rika. Aku memang sering menangani cewek cantik, tapi kali ini beda. Rika benar-benar membuatku jatuh hati. Dari kekonyolan dan kepolosannya, dari awal mobilku menabrak dia, aku sudah merasa ada getaran yang aneh di dalam jiwaku. Aku terlalu berpura-pura untuk menyuruhnya rileks, tapi sebenarnya aku yang sungguh tidak bisa tenang. Kuambil spray dan menyemprotkannya ke seluruh bagian rambutnya.
Kumainkan gunting ku di partisi bawah-belakang. Kuarahkan guntingku sedikit dibawah dagunya. Bagaimanapun juga, aku harus bersikap profesional.
Krek krek krek
Momen saat rambutnya terpotong dan jatuh di tanganku membuat jantungku berdegup kencang. Aku tak mampu menenangkan Rika yang kulihat di cermin ia menangis, karena aku sangat tidak tenang. Kulanjutkan menurunkan partisi kanan bawah dan memotongnya sama dengan sebelumnya.
Krek krek krek
Kulanjutkan lagi bagian kiri bawah. Melihat rambut bagian bawah Rika sudah terpotong hampir sempurna dan lehernya yang jenjang membuatku nyaris tak bisa melanjutkan pekerjaanku. Tanganku bergetar!
Ku ambil napas perlahan untuk menurunkan adrenalin ku. Ku lanjutkan memotong partisi bagian atas. Apapun yang terjadi, aku tak boleh meninggalkan pekerjaanku. Aku harus menyelesaikan pekerjaan ini dengan sempurna.
Jantungku berdegup kencang. Bukan hanya karena rambutku di potong oleh lelaki pujaanku, juga karena aku belum pernah merasakan memiliki rambut sependek ini. Ketika semilir angin menerjang leherku, aku tak kuasa menahan dingin yang membuatku sedikit grogi.
Adit masih asik memotong rambutku. Aku hanya mampu melirik aksinya dan tak kuasa melihat seberapa banyak rambut yang telah ia potong. Memang terasa lebih ringan. Ada rasa lain ketika aku berada di kursi panas ini--aku bahagia. Entahlah, tapi aku tak bisa mengingkari rasa ini. Mataku menangis tapi aku merasakan diriku yang baru.
Semua bagian rambut Rika telah aku potong. Aku mengambil hair-dryer dan mem-blow rambutnya yang basah. Wajahnya yang tertutup bob sedagunya membuatku tersenyum--aku terpesona. Ia tampak lebih menarik di mataku.
Ku ambil curling iron untuk membuat rambutnya bervolume. Lalu kudepankan sedikit rambutnya dan membuatkannya poni samping serta fringe yang sangat membingkai wajahnya. Saat proses itu, kulihat Rika yang sangat gugup karena aku berada tepat di depannya. Saat itu mataku juga beradu pandang dengannya. Aku menyukai ekspresinya itu.
Ku selesaikan pekerjaanku dengan merapikan bagian yang kurang pas. Kulihat Rika mulai sedikit tenang. Aku tersenyum, akhirnya pekerjaan yang tidak biasa ini hampir selesai.
Aku mematut hasil karyaku. Tampak seorang gadis yang sangat cantik, sangat cocok dengan style rambut barunya. Aku lemas. Ini kali pertamanya aku merasa selemas ini. Jantungku bergetar.
Akhirnya Adit melepas kain cape silver yang telah melekat di tubuhku sekitar lima puluh menitan, dan sampai saat ini aku belum berani melihat cermin. Aku merasakan sensasi yang berbeda dari sebelumnya. Aku merasakan ujung rambut yang menggelitikku di dagu, karena angin tentunya, serta poni yang menutup sebagian dahiku. Aku merasa mendapatkan sesuatu yang indah.
"Rik, gimana rasanya?" Adit memulai pembicaraan.
"Rasanya aneh ya, Dit. Aku tak biasa berambut pendek. Kayaknya aku akan sedikit malu untuk bertemu orang lain."
"Lama-kelamaan kamu juga biasa kok,Rik. Nggak perlu malu-malu, kamu itu benar-benar cantik, layaknya bidadari."
"Apaan sih Adit," ucapku. Aku sedikit bisa tertawa.
"Aku yakin kamu pasti belum melihat penampilanmu. Lihatlah, kamu di cermin." Aku menuruti perkataan Adit. Aku sangat terkejut, itu bukan aku! Memang style rambut bisa mengubah penampilan seseorang.
Aku menarik napasku perlahan-lahan, mencoba menenangkanku. Aku terlihat berbeda dan aku suka itu. Tapi aku terlalu naif untuk menyadari bahwa style yang telah Adit buat membuatku sangat bahagia. Aku masih menangis!
Adit beralih ke sampingku. Ia memegang tanganku dan tersenyum. Matanya tepat melihat mataku. Ia memutar kursi ku ke arahnya. Lalu ia membungkuk dan meraih tanganku.
"Rik, aku benar-benar terpesona denganmu. Dari sikap dan tingkah lakumu serta tatapan matamu yang indah, aku telah jatuh hati kepadamu. Entah saat mobilku menabrakmu itu adalah takdir ataupun hanya kebetulan, aku yakin bahwa waktu telah mempertemukan kita. Kamu bukanlah wanita yang biasa aku lihat, kamu memiliki sisi indah yang tak pernah kutemukan pada wanita lain sebelumnya. Rika, maukah kamu menikah denganku?" ujar Adit yang membuat wajahku menjadi seperti kepiting rebus.
"Dit, aku sebenarnya merasakan perasaan yang sama denganmu. Aku mau, Dit," ucapku yang membuahkan senyuman di wajah Adit.
"Aku akan segera melamarmu, Rik."
Aku bahagia. Adit beranjak dari posisinya dan mengajakku menuju balkon. Semilir angin semakin kuat di leherku. Balkon itu menghadap ke arah pemandangan yang luar biasa. Hijaunya sawah yang membentang dan gunung yang indah menjulang. Ternyata di kota besar seperti ini masih ada pemandangan seperti di desa.
"Gimana pemandangannya, indah kan?"
"Iya, Dit. Tapi aku masih belum percaya diri sepenuhnya dengan rambutku sekarang," ujarku.
"Dari takdir yang buruk, kita akan belajar bagaimana kita akan menerima keadaan kita saat kita terkena masalah. Seperti ketika rambutmu tak sepanjang dulu. Kamu harus tetap percaya pada diri kamu bahwa kamu bisa menjalani hidupmu dengan style rambut yang berbeda. Anyway, aku sangat suka rambutmu yang sekarang, kamu tampak lebih menarik."
"Apaan sih, Dit." Aku tersipu malu.
"Aku nggak papa kok. Makasih ya." Tak kusangka kakiku yang sedikit terkilir memaksaku untuk jatuh lagi. Refleks, ia menolongku.
"Masuk ke mobilku dulu yuk, nanti aku obatin lukanya. Kayaknya luka di kakimu sedikit terbuka."
"Nggak usah, aku masih bisa jalan kok."
"Ayolah, nggak usah bohong. Aku tahu kamu lagi kesakitan." Ia memaksaku untuk masuk ke mobilnya.
Aku tak bisa berbuat apa-apa lagi. Aku menurutinya. Ia banyak bercerita tentang dirinya dan kehidupannya. Ia ternyata seorang dokter yang meneruskan studi S2 nya. Entah ia mengambil spesialis apa. Pantas, ia tahu kalau aku berbohong.
"Oh iya, dari tadi kita ngobrol aku belum ngenalin diriku. Aku Adit, salam kenal ya." Ia menyodorkan tangannya
"Aku Rika."
"Masih sakit ya? Tunggu bentar ya, apartemen ku masih lumayan jauh. Ngomong-ngomong kamu lagi sibuk apa?
"Aku S2 juga, Sastra Inggris."
"Mm, yaya."
"Silahkan masuk, maaf apartemen ku ya cuma begini lah."
Aku terperangah, apartemen cowok tapi sangat rapi! Ku lihat sekeliling, memang banyak hal-hal yang berbau kedokteran.
"Sini, nggak usah malu-malu lah."
Aku menuruti segala ucapannya. Ia mengobati lukaku dan terlihat sangat profesional. Kulihat matanya yang sangat indah serta rambutnya yang sangat rapi. Jantungku sedikit berdegup dan aku tak tahu apakah pipiku sudah semerah kepiting rebus. Jika iya, pasti aku sangat malu.
"Makasih ya Adit, udah bantuin aku."
"Sama-sama, Rika. Udah tugas dokter buat bantu orang sakit. Aku anterin pulang aja ya. Kayaknya masih sakit kalau buat jalan."
"Kok jadi ngerepotin gini."
"Nggak papa, yuk"
Entah kenapa sejak saat itu, aku merasa ingin sekali bertemu dengan Adit. Tatapan matanya saat melihatku dan tingkah lakunya membuatku jatuh hati. Tapi, apakah ia akan membalas rasa ku ini? Aku bukanlah seseorang dari lingkungan elit dan aku mungkin belum menjadi seperti gadis modern pada umumnya. Aku adalah gadis kuno yang merantau ke kota besar untuk mencari ilmu. Beruntung di sini aku dapat bekerja sebagai translator novel, juga editor. Aku juga telah menerbitkan tiga buah novel, dan itulah yang menjadi penghasilanku.
Aku tak sanggup untuk tampil mewah karena penghasilanku yang aku dapat kugunakan untuk membiayai kuliah ku sendiri dan sisanya untuk menyambung hidupku, serta ditabung tentunya. Rambutku yang dulu selalu diberi ramuan tradisional oleh ibuku, sekarang kubiarkan ala kadarnya saja. Cukup keramas dua hari sekali dan teman-teman ku masih memuji keindahan rambutku.
Hari-hari kujalani seperti biasa. Aku tak tahu dimana sosok Adit sekarang, yang pasti ia hanya berada di sampingku sekejap saja. Sepanjang kelas yang aku lalui selalu terbayang akan Adit. Apakah ini tandanya aku jatuh cinta?
Seminggu sudah terlewati sejak Adit menabrakku saat itu. Aku berjalan di koridor kampus dengan sedikit melamun, membayangkan kapan aku bisa bertemu Adit kembali. Namun tiba-tiba mataku menangkap bayangan dari sosok Adit. Kupikir itu tak mungkin, apakah ia satu perguruan tinggi denganku?
"Eh, hai Rika!" teriak Adit yang menyadarkanku dari lamunan. Ia berlari ke arahku.
"Adit?" Aku terkejut. "Kok ada di sini?"
"Gimana luka seminggu yang lalu, masih sakit?" tanya Adit
"Kamu tuh ya, ditanyain malah ganti nanya," candaku. "Udah sembuh kok, Dit. Makasih ya." Aku tersenyum
"Kebetulan kita satu universitas," ujar Adit.
"Kok kamu tahu?" tanyaku penasaran.
"Aku nanya temanku, kayak kamu juga, S2 sastra inggris dan dia tahu kamu."
"Oh, gitu ya. Aku duluan ya, masih banyak tugas yang harus aku selesaikan, bye!" ujarku.
"Ya, silahkan. Semoga kita bisa ketemu lagi, bye."
Aku tak menyangka aku bisa bertemu Adit kembali. Sejak hari itu aku selalu percaya bahwa aku bisa bertemu kembali dengan Adit.
"Rik, maksudmu apa? Mau jatuhin aku? Aku memang tak memiliki hubungan yang baik dengan Adit, tapi tak seharusnya juga kan kau begitu sama aku." Reyna membentakku. Jujur, aku tak tahu apa yang terjadi.
"Maksudmu apa, Rey?" jawabku.
"Kamu bertanya maksudmu apa? Sebenarnya apa sih maumu? Kita kan temen SMA, masak kamu tega sama aku, Rik!"
"Maksudmu apa?" Aku semakin tak mengerti.
"Artikel malpraktek dengan inisial RMI mu, itu kan inisial ku!" Nada suara Reyna semakin meninggi.
"Maaf, Reyn. Tapi orang-orang juga tak akan tahu 'kan jika itu namamu. Lagian kenapa sih kamu harus ngelakuin malpraktek segala," ujarku lembut.
"Rik, asal kau tahu ya. Di setiap artikel kedokteran yang aku buat, di setiap hasil eksperimen ku, bahkan di setiap praktek kerjaku aku selalu pakai inisial RMI! Sekarang kamu puas, aku udah jatuh gegara artikelmu--"
Plakk
Kuberanikan diri menampar Reyna. Ia terkejut dan semakin marah kepadaku. Aku berusaha tenang menghadapi situasi ini.
"Oh, berani menampar kamu sekarang. Kukira kamu orang yang lembut dan baik hati, ternyata--"
Plakk
Kutampar sekali lagi pipi Reyna.
"Baru kali ini lho ada cewek yang berani nampar aku--"
Plakk
Sekali lagi aku menampar Reyna. Rasanya kesabaranku sudah hampir habis.
"Aku juga berani ngabisin kamu. Nggak peduli kita pernah temenan. Keluarlah!" Reyna memanggil preman sekongkolannya yang bersembunyi di gudang tua itu.
"Habisin Rika!"
Aku terkejut. Preman-preman langsung menghabisiku. Darah langsung mengalir deras di sekujur tubuh. Aku tak mampu bergerak! Bahkan untuk berbicara lagi dengan Reyna pun aku sudah tak mampu. Aku hanya bisa pasrah kepada Tuhan.
"Puas?" Reyna mengejekku. Aku hanya melihat matanya dengan sorot kemarahan.
"Tapi sayangnya aku belum puas menghabisimu," bisik Reyna di telingaku.
Reyna merogoh saku celananya dan ia mengambil GUNTING! Ia mengarahkannya pada rambutku. Aku yang tak mampu berkutik hanya bisa pasrah diperlakukan seperti itu.
Kreeesss Kresss Kress
Ribuan helai rambutku jatuh memenuhi lantai gudang di mana aku dan Reyna berada. Aku hanya mampu menangis mengingat rambutku yang sudah pasti akan acak-acakan.
Kresss Kress Kresss
Reyna semakin asik mengguntingi rambutku. Tiba-tiba ia menghentikan aksinya dan lari terburu-buru. Entah apa yang terjadi.
Kulihat Adit berlari ke arahku. Wajahnya menampakkan raut kekhawatiran terhadap diriku. Ingin ku berkata bahwa aku tak apa, namun aku tak bisa bicara, apalagi berdiri dan menghampirinya.
"Rika! Kamu ...."
"Adit! Maukah kau bantu aku berdiri?" Ia langsung memapahku dan heran melihat beberapa luka di wajahku dan RAMBUTKU!
"Kamu kenapa, Rik?"
"A-aku nggakpapa kok, hanya ada sedikit konflik sama Reyna."
"Rambutmu? Kenapa jadi--" Ia terbelalak melihat ribuan helai rambutku tergeletak tak berdaya di lantai gudang itu. "Ikut aku bentar ya."
"Nggakpapa kok, nggak usah repot-repot. Aku baik-baik saja."
"Ikut aku." Hatiku berdegup sangat kencang ketika ia berkata dengan nada yang lembut dan menyentuh. Tubuhku yang lemah hanya mampu menuruti apa yang ia mau.
"Nih, pakai jaketku." Ia menyodorkan jaketnya yang tertenteng di tangan sebelumnya.
"Buat apa?"
"Apa kamu nggak malu sama rambutmu? Nih, pakai aja."
Kuambil jaketnya dan aroma parfum yang keluar dari jaketnya membuatku sedikit tenang. 'Mengapa ia sebaik ini, padaku?'
"Masuklah, akan kuobati lukamu di mobil. Beruntung aku bawa beberapa obat luka luar." Tangannya yang indah menari-nari di wajahku. Beberapa luka telah ia obati. Namun, ketika wajahnya berada terlalu dekat denganku, aku merasakan hembusan napasnya yang menggetarkan jiwaku.
"Aw!"
"Nggakpapa, nanti sakitnya juga hilang kok. Sabar bentar ya."
Rasa sakit dari penderitaan ku tadi telah hilang seiring kehadirannya di waktu yang tepat. Aku semakin jatuh hati kepadanya.
"Gimana, udah lebih baik kan?"
"Ya, makasih banyak Adit. Kamu telah banyak membantuku."
"Ya, sama-sama. Oh iya, ikut aku bentar ya, ada hal yang harus aku lakukan."
"Sama aku?"
"Iya dong."
"Hal apa?"
"Ikut aja."
Pemandangan sekeliling kota mendadak terasa indah sejak aku berada berdampingan dengan Adit. Cara bicara dan kebiasaannya melucu memang mengagumkan. Aku sangat ingin bisa terus bersama Adit, tapi ... apakah aku bisa mewujudkan keinginanku? Aku bukanlah seseorang yang selevel dengannya. Ataukah Adit hanyalah mimpiku di siang bolong? Entahlah, biar waktu yang membalasnya.
Mobil Adit yang kutumpangi berhenti di depan Emerald Salon and Spa, tempat kecantikan yang sangat terkenal di kota ini. Aku heran mengapa Adit membawa ku kesini?
Adit keluar dari mobil dan membukakan pintunya untukku. Aku yang masih terbengong menjadi sangat terkejut. Adit hanya tertawa renyah.
"Silahkan Rika, jangan lupa topi jaketnya dipakai, malu lah dilihat orang banyak."
"Mau ngapain kita ke sini, Dit?" Aku memakai topi jaketnya sambil mengikuti langkah kecilnya menuju salon itu.
"Ikut aku aja."
Aku belum pernah memasuki tempat semewah ini. Keherananku semakin meningkat ketika seorang resepsionis mempersilahkan Adit dengan sangat hormat.
"Mari, Mas Adit. Belum jamnya kerja kok sudah kesini?" tanya resepsionis keheranan.
"Ada pelanggan VVIP, mari mbak," canda Adit dengan senyum manis yang memamerkan giginya.
"Pelanggan VVIP atau pacarnya mas?"
Adit hanya terkekeh.
"Dit, kamu kerja di sini?" tanyaku aneh
"Iya nggak ya? Haha, kepo banget sih kamu."
"Kamu ih!"
Aku terus mengikuti langkah Adit. Di lantai dua, di depan ruangan yang membuatku keheranan, karena di pintu masuk tertulis "TOP STYLIST". Adit mengambil kunci di sakunya dan membuka pintu tersebut.
"Silahkan masuk, Rika. Rileks aja lah." Adit tersenyum
"Maksudnya apa ini, Dit?"
Ia menghampiri sebuah kursi dengan kaca besar di depannya. Ia lalu mengambil sebuah kain cape silver di loker meja di depan kursi tersebut.
"Silahkan duduk di sini, Rik. Jangan bengong mulu." Adit memutar kursi dan menghadapkannya kepada ku.
"Hah?" aku tak maksud apa yang dikatakan Adit barusan. Ia menghampiri ku dan menyuruhku duduk.
"Apa maksudnya, Dit?" Aku terpaksa duduk di kursi tersebut. Aku masih merasa canggung karena aku belum pernah duduk di kursi salon. Adit lalu memutar kursi menghadap cermin.
"Apa kamu mau rambutmu seperti itu terus? Ini gratis loh." Adit memegang punggung kursi yang telah aku duduki seraya memperhatikan mataku di cermin.
"Kamu mau merapikan rambutku?"
"Pastilah!"
"Kamu bisa?"
"Kalau aku tidak bisa, kenapa aku harus ajak kamu ke tempat ini."
"Tapi aku tak biasa berambut pendek." Aku membelai rambutku yang sudah tak karuan panjangnya.
"Bisa diatur lah."
"Maksudmu bisa diatur?"
"Serahkan saja sama ahlinya," canda Adit.
"Oh iya, tadi aku lihat tulisan top stylist di pintu masuk. Maksudnya apa?"
"Aku memang top stylist di sini. Ini ruangan pribadiku. Aku kerja paruh waktu di sini dan di klinik."
"Hah?" Aku tercengang.
"Kaget ya, haha," tawa Adit membuatku kesal.
Aku semakin kagum dengan sosok Adit. Aku mulai melepas jaketnya di tubuhku dan berusaha rileks. Aku tak pernah memotong rambutku 5 tahun belakangan ini. Dengan insiden tadi, mau tak mau aku harus merelakannya. Entahlah jika tadi Adit tidak menjadi superhero ku, aku harus bagaimana. Pastinya aku tak punya cukup uang untuk merapikan rambutku.
"Aku mulai ya," bisik Adit di telingaku. Ia mengibaskan kain cape silver ditubuhku, aku semakin tegang.
"Rileks aja, Rik."
"Jangan terlalu pendek ya Dit," pintaku
"Bentar, aku lihat dulu." Adit meneliti tiap bagian rambutku dan tiba-tiba ia sangat tercengang mendapati banyak bagian rambutku telah terpotong cukup pendek. Ku tahu ketika ia mengangkat rambutku. Aku terkejut. Ia menggeleng-gelengkan kepala dan berusaha menenangkanku.
"Harus full makeover nih," ucap Adit yang membuat ku bingung.
"Maksudnya?"
"Nggak bisa kalo cuma ngrapiin atau dibuat layer. Rambutmu yang terpotong pendek cukup banyak soalnya," tukasnya sambil meneliti rambutku lagi. "Memang Reyna kurang ajar ya." Aku mengangguk
"Jadi, harus dipotong pendek ya?" Refleks air mataku keluar.
"Mau gimana lagi, Rik. Bob sedagu mungkin pilihan yang terbaik dengan kondisi rambut mu saat ini." Ia masih berpikir, tapi raut wajahnya berubah ketika ia melihat wajahku di cermin. "Rik, jangan nangis dong. Cantiknya hilang loh nanti." Tangannya mengusap air mataku dengan lembut. "Daripada rambutmu berantakan mending dipotong pendek kan?" Nada bicaranya yang selalu membuat hatiku luluh, kini terasa hanya sekedar angin lewat. Aku menangis semakin menjadi-jadi.
"Tunggu bentar ya," ucap Adit kemudian.
Kudengar langkah kakinya, namun beberapa detik kemudian, ia kembali lagi.
"Minum dulu, Rik. Tenangin diri kamu." Ia menyodorkan minuman yang ia bawa kepadaku. Kuminum sedikit demi sedikit untuk menenangkan diriku.
"Makasih ya," ucapku masih sesenggukan.
"Nggakpapa kan kalau aku potong rambutmu?" Ia berjongkok di samping kursiku dan memegang tanganku.
"Bentar ya, Dit. Biarkan aku tenang dulu."
"Iya, tenangin diri kamu dulu." Senyum Adit membuatku merasa lebih tenang.
"Dit, kalau aku berambut pendek, memangnya ada cowok yang bakalan suka sama aku?" tanyaku.
"Kalau dia memang suka sama kamu, nggak peduli mau kamu rambutnya panjang sampai nyentuh lantai, atau rambutmu pendek banget, dia tetap suka kamu. Rambut bisa panjang kembali kok, Rik. Nggak usah khawatir. Ngitung-itung sebagai pengalaman kan?"
"Okelah, Dit. Tapi kalau aku nangis nggak papa kan?" ucapku berusaha tersenyum.
"Banyak kok wanita yang nangis waktu rambutnya dipotong. Aku dah biasa nanganin."
"Aku siap, Dit."
"Yakin?"
"Yakin!" Ia menyalamiku sebagai tanda deal.
Ia berdiri seraya melipat lengan bajunya, lalu membuka loker meja di depanku, mengambil sebuah gunting dan sisir. Ia berjalan di belakangku dan mulai menyisiri rambutku dan mempartisinya menjadi beberapa bagian. Tak sengaja, gunting yang dibawanya menyentuh leherku.
"Aw ..." Aku terperanjat. Dingin dari gunting besi itu terasa sangat jelas di leherku. Perasaanku semakin tak karuan.
"Maaf, aku nggak sengaja." Ia menjauhkan gunting besi itu dari leherku.
"Iya, nggak papa kok."
"Kamu jadi makin tegang ya. Rileks aja Rik, potong rambut itu nggak sakit kayak ngobatin luka. Aku nggak pake betadine kok buat motong rambutmu, haha." Ia mengambil spray dan menyemprotkan ke seluruh bagian rambutku.
Ketika Adit mulai memainkan guntingnya, dan tangan kirinya memegang rambutku, aku tak tega melihat ke arah cermin. Pelan tapi pasti, ia langsung mengarahkan guntingnya sedikit di bawah daguku. Dentingan gunting yang mulai memotong rambutku membuat aku nervous.
Krek krek krek
Aku terkulai lemas mendapati rambutku telah terpotong. Aku melihatnya sendiri! Setidak teganya aku, aku terlalu penasaran bagaimana aksinya ketika Adit menjadi capster, bukan sebagai dokter. Tapi justru karena inilah nyaliku menjadi ciut. Kupejamkan mataku, aku tak mau melihatnya lagi. Kudengar Adit masih asik memainkan guntingnya. 'Sepertinya ia tak memperhatikanku, atau memang seperti itulah cara dia memperlakukan wanita yang sedang shock karena rambut panjangnya dipotong?' pikirku.
Sebenarnya aku sangat nervous ketika memegang rambutnya Rika. Aku memang sering menangani cewek cantik, tapi kali ini beda. Rika benar-benar membuatku jatuh hati. Dari kekonyolan dan kepolosannya, dari awal mobilku menabrak dia, aku sudah merasa ada getaran yang aneh di dalam jiwaku. Aku terlalu berpura-pura untuk menyuruhnya rileks, tapi sebenarnya aku yang sungguh tidak bisa tenang. Kuambil spray dan menyemprotkannya ke seluruh bagian rambutnya.
Kumainkan gunting ku di partisi bawah-belakang. Kuarahkan guntingku sedikit dibawah dagunya. Bagaimanapun juga, aku harus bersikap profesional.
Krek krek krek
Momen saat rambutnya terpotong dan jatuh di tanganku membuat jantungku berdegup kencang. Aku tak mampu menenangkan Rika yang kulihat di cermin ia menangis, karena aku sangat tidak tenang. Kulanjutkan menurunkan partisi kanan bawah dan memotongnya sama dengan sebelumnya.
Krek krek krek
Kulanjutkan lagi bagian kiri bawah. Melihat rambut bagian bawah Rika sudah terpotong hampir sempurna dan lehernya yang jenjang membuatku nyaris tak bisa melanjutkan pekerjaanku. Tanganku bergetar!
Ku ambil napas perlahan untuk menurunkan adrenalin ku. Ku lanjutkan memotong partisi bagian atas. Apapun yang terjadi, aku tak boleh meninggalkan pekerjaanku. Aku harus menyelesaikan pekerjaan ini dengan sempurna.
Jantungku berdegup kencang. Bukan hanya karena rambutku di potong oleh lelaki pujaanku, juga karena aku belum pernah merasakan memiliki rambut sependek ini. Ketika semilir angin menerjang leherku, aku tak kuasa menahan dingin yang membuatku sedikit grogi.
Adit masih asik memotong rambutku. Aku hanya mampu melirik aksinya dan tak kuasa melihat seberapa banyak rambut yang telah ia potong. Memang terasa lebih ringan. Ada rasa lain ketika aku berada di kursi panas ini--aku bahagia. Entahlah, tapi aku tak bisa mengingkari rasa ini. Mataku menangis tapi aku merasakan diriku yang baru.
Semua bagian rambut Rika telah aku potong. Aku mengambil hair-dryer dan mem-blow rambutnya yang basah. Wajahnya yang tertutup bob sedagunya membuatku tersenyum--aku terpesona. Ia tampak lebih menarik di mataku.
Ku ambil curling iron untuk membuat rambutnya bervolume. Lalu kudepankan sedikit rambutnya dan membuatkannya poni samping serta fringe yang sangat membingkai wajahnya. Saat proses itu, kulihat Rika yang sangat gugup karena aku berada tepat di depannya. Saat itu mataku juga beradu pandang dengannya. Aku menyukai ekspresinya itu.
Ku selesaikan pekerjaanku dengan merapikan bagian yang kurang pas. Kulihat Rika mulai sedikit tenang. Aku tersenyum, akhirnya pekerjaan yang tidak biasa ini hampir selesai.
Aku mematut hasil karyaku. Tampak seorang gadis yang sangat cantik, sangat cocok dengan style rambut barunya. Aku lemas. Ini kali pertamanya aku merasa selemas ini. Jantungku bergetar.
Akhirnya Adit melepas kain cape silver yang telah melekat di tubuhku sekitar lima puluh menitan, dan sampai saat ini aku belum berani melihat cermin. Aku merasakan sensasi yang berbeda dari sebelumnya. Aku merasakan ujung rambut yang menggelitikku di dagu, karena angin tentunya, serta poni yang menutup sebagian dahiku. Aku merasa mendapatkan sesuatu yang indah.
"Rik, gimana rasanya?" Adit memulai pembicaraan.
"Rasanya aneh ya, Dit. Aku tak biasa berambut pendek. Kayaknya aku akan sedikit malu untuk bertemu orang lain."
"Lama-kelamaan kamu juga biasa kok,Rik. Nggak perlu malu-malu, kamu itu benar-benar cantik, layaknya bidadari."
"Apaan sih Adit," ucapku. Aku sedikit bisa tertawa.
"Aku yakin kamu pasti belum melihat penampilanmu. Lihatlah, kamu di cermin." Aku menuruti perkataan Adit. Aku sangat terkejut, itu bukan aku! Memang style rambut bisa mengubah penampilan seseorang.
Aku menarik napasku perlahan-lahan, mencoba menenangkanku. Aku terlihat berbeda dan aku suka itu. Tapi aku terlalu naif untuk menyadari bahwa style yang telah Adit buat membuatku sangat bahagia. Aku masih menangis!
Adit beralih ke sampingku. Ia memegang tanganku dan tersenyum. Matanya tepat melihat mataku. Ia memutar kursi ku ke arahnya. Lalu ia membungkuk dan meraih tanganku.
"Rik, aku benar-benar terpesona denganmu. Dari sikap dan tingkah lakumu serta tatapan matamu yang indah, aku telah jatuh hati kepadamu. Entah saat mobilku menabrakmu itu adalah takdir ataupun hanya kebetulan, aku yakin bahwa waktu telah mempertemukan kita. Kamu bukanlah wanita yang biasa aku lihat, kamu memiliki sisi indah yang tak pernah kutemukan pada wanita lain sebelumnya. Rika, maukah kamu menikah denganku?" ujar Adit yang membuat wajahku menjadi seperti kepiting rebus.
"Dit, aku sebenarnya merasakan perasaan yang sama denganmu. Aku mau, Dit," ucapku yang membuahkan senyuman di wajah Adit.
"Aku akan segera melamarmu, Rik."
Aku bahagia. Adit beranjak dari posisinya dan mengajakku menuju balkon. Semilir angin semakin kuat di leherku. Balkon itu menghadap ke arah pemandangan yang luar biasa. Hijaunya sawah yang membentang dan gunung yang indah menjulang. Ternyata di kota besar seperti ini masih ada pemandangan seperti di desa.
"Gimana pemandangannya, indah kan?"
"Iya, Dit. Tapi aku masih belum percaya diri sepenuhnya dengan rambutku sekarang," ujarku.
"Dari takdir yang buruk, kita akan belajar bagaimana kita akan menerima keadaan kita saat kita terkena masalah. Seperti ketika rambutmu tak sepanjang dulu. Kamu harus tetap percaya pada diri kamu bahwa kamu bisa menjalani hidupmu dengan style rambut yang berbeda. Anyway, aku sangat suka rambutmu yang sekarang, kamu tampak lebih menarik."
"Apaan sih, Dit." Aku tersipu malu.
BERITA LENGKAP DI HALAMAN BERIKUTNYA
Halaman Berikutnya